Kamis, 08 September 2016

Bleng, Bahan Kimia Mirip Boraks yang Berbahaya Bagi Tubuh


Bleng (natrium biborat, batrium piroborat, natrium tetraborat) merupakan bentuk tidak murni dari boraks. Bahan kimia ini sering digunakan dalam pembuatan kerupuk, mie basah, bakso, dan lontong dengan tujuan menjadikan produk menjadi lebih kenyal, menambah rasa dan aroma, serta mengawetkan produk. Di Indonesia, bleng sudah diproduksi sejak tahun 1700 dalam bentuk air bleng. Biasanya air bleng didapatkan dari ladang garam dan kawah lumpur. Boraks merupakan bahan baku pembuatan detergen dan antiseptic. Sehingga tidak boleh dipergunakan dalam produksi makanan karena sifatnya yang berbahaya. Konsumsi bleng atau boraks dapat mengakibatkan kerusakan ginjal atau bahkan kematian.

Namun dalam prakteknya, masyarakat Indonesia masih sering menggunakan bleng atau boraks dalam campuran pembuatan makanan, walaupun sudah banyak himbauan untuk tidak menggunakannya. Boraks akan sangat berbahaya apabila terhirup, mengenai mata, mengenai kulit atau tertelan. Akibat yang dapat muncul antara lain iritasi saluran pernapasan, iritasi kulit dan mata, mual, sakit kepala, dan nyeri hebat pada perut bagian atas. Bila boraks dikonsumsi dalam jangka panjang, maka akan menimbulkan kerusakan ginjal, kegagalan system sirkulasi akut, bahkan kematian. Konsumsi boraks 5 hingga 10 gram pada anak-anak akan mengakibatkan shock dan kematian. Oleh karenanya Keberadaan boraks pada makanan tidak ditoleransi (tidak boleh ada dalam kadar berapapun) karena sangat berbahaya bagi kesehatan dan dilarang oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Penggunaan bleng dalam makanan bertujuan untuk memberikan aroma dan rasa khas di samping mengenyalkan dan membuat adonan mengembang. Tekstur dan rupa makanan menjadi bagus. Bleng membuat kerupuk gendar/karak/puli mekar saat digoreng dan terasa renyah. Zat ini juga berperan sebagai  pengawet dan pengeras.

Sesungguhnya ada bahan lain yang bisa digunakan sebagai pengganti boraks, seperti air abu. Air abu didapatkan dari merang (batang padi) atau klaras (daun pisang kering) yang dibakar hingga menjadi abu. Kemudian abu direndam dalam air bersih selama 2 – 3 hari. Air rendaman abu dapat digunakan sebagai bahan pengenyal dan pengawet menggantikan bleng/boraks.

Selain air abu, ada pula rumput laut sebagai pengganti bleng/boraks. Rumput laut dicuci bersih dan dipotong kecil-kecil. Kemudian direbus dengan sedikit air selama 20 menit dan didinginkan. Setelah dingin, rumput laut diblender hingga terbentuk bubur dan siap digunakan.

Bahan lain yang juga aman digunakan adalah air kapur sirih dan STPP (sodium tripoliphosphate). Penggunaan STPP memiliki beberapa kelebihan dibanding bleng. Selain aman dikonsumsi, harganya pun lebih murah. Hanya butuh sedikit STPP untuk membuat adonan mengembang dan kenyal agar makanan lebih renyah dan enak. Namun STPP kurang baik bila dipergunakan dalam pembuatan kerupuk karena kerupuk menjadi susah dipotong.


*Dari berbagai sumber

Senin, 16 Mei 2016

Kurma, Si Manis dari Surga


Bulan puasa, identik dengan berbagai makanan manis, kurma termasuk di dalamnya. Kurma memang bukan berasal dari Negara tropis seperti Indonesia, melainkan dari daerah padang pasir. Nabi SAW, biasa berbuka puasa dengan makan kurma sebelum solat Magrib, dan jika tak ada maka diganti dengan kismis. Jika keduanya tak ada, maka beliau minum beberapa teguk air.

Kurma merupakan buah tertua yang dibudidayakan oleh manisia. Buah ini merupakan mahkota dari semua penganan dan bagian dari diet yang sehat. Kandungan gula, lemak, protein, vitamin, mineral dan serat pangan sangat baik untuk tubuh manusia. Kedokteran modern membuktikan bahwa kurma efektif dalam mencegah kanker perut. Buah yang biasa ditemui dalam bentuk kering ini juga baik untuk ibu hamil, karena mengandung stimulant yang akan memperkuat otot-otot rahim pada bulan terakhir kehamilan. Sehingga membantu pelebaran Rahim saat persalinan dan mengurangi pendarahan setelah melahirkan.

Vitamin dan mineral merupakan unsur mikro, namun penting peranannya dalam tubuh. Apabila unsur-unsur mikro dalam tubuh mengalami penurunan, maka kesehatan akan terganggu. Dalam buah yang digemari Nabi Muhammad SAW ini, terdapat banyak vitamin dan mineral. Sebagai contoh zat besi yang dibutuhkan dalam pembentukan sel darah merah.  Kekurangan zat besi akan mengakibatkan tubuh menjadi lemah, mudah letih dan gampang mengantuk karena darah yang diedarkan dalam tubuh tidak tercukupi. Konsumsi kurma dapat meningkatkan kadar zat besi dalam darah, terutama pada ibu hamil di trimester ketiga.

Kurma juga dipakai untuk berbuka, karena kandungan gulanya cepat diserap oleh tubuh. Pada saat puasa, tubuh kita akan mengalami penurunan gula dalam darah. Oleh karenanya, tubuh menjadi lemas. Sehingga dibutuhkan makanan yang mudah diserap untuk menggantikan gula yang telah banyak berkurang.

Selain dimakan sebagai buah, kurma juga dapat diolah menjadi berbagai masakan. Coklat kurma merupakan salah satu olahan kurma yang cukup popular di Indonesia. Kurma dibelah dan diisi dengan keju parut, dan kacang almond atau kacang mede lalu dicelupkan dalam coklat dan dibiarkan mengeras. Cemilan ini dapat dimakan bersama keluarga, atau disajikan sebagai kue lebaran.

Sumber: Shaikh, Mohammad. 2015. Quranic Food: Diet Sehat dalam Makanan dan Minuman dalam Al-Quran. Penerbit Republika. Jakarta

Beberapa sumber dari internet, seperti Wikipedia dan cookpad.com

Senin, 09 Mei 2016

Hijrahnya Supir Taksi

Kisah perjalanan kali ini tentang hidup seorang supir taksi muda. Usianya? Mungkin terpaut 6 tahun lebih tua dariku. Tapi pengalaman hidupnya, kisah hijrahnya, luar biasa.

Berawal dari aku yang tak mau naik taksi bertarif borongan di Stasiun Tugu yang harganya mencekik leher, lalu memutuskan untuk berjalan kaki ke arah Malioboro. Ternyata jalan jauh plus bawa beban di pundak membuatku berpikir ulang dan menghentikan sebuah taksi berwarna hijau. Pengemudi yang ramah dari awal membuka pintu lalu lagu-lagu berbobot yang disetel, membuatku berpikir, 'ini supir bukan orang biasa'. Lalu meluncurlah berbagai kisah mengenai dirinya selama perjalanan menuju kos.

Beliau lulusan UIN Jogja (saat itu masih IAIN). Sempat bekerja sebagaiburu, tapi tak betah. Lalu bekerja sebagai pencatat sipil di KUA di kotanya. Lagi-lagi tak betah. Karena beliau menemukan banyak pelanggaran dalam pernikahan (marriage by accident, nikah kontrak, nikah di bawah umur, dan 'uang' untuk penghulu). Melihat banyak pelanggaran, beliau akhirnya menyudahi pekerjaannya lagi dan merantau ke Jogja.

Sesampainya di Jogja, beliau bertemu dengan seorang artis cantik ibukota yang sedang mencari supir (semoga saya gak salah denger). Mulailah beliau bekerja di dunia gemerlap. Beliau bekerja mensetting alat-alat shooting sinetron di sebuah stasiun TV swasta nasional. Kerja malam, membuatnya rusak. Banyak begadang, minum minuman keras, jarang makan. Hal itu terjadi selama 9 tahun lamanya.

Ternyata Allah masih sayang padanya. Bertemulah ia dengan Teh Peggy Melatisukma yang telah berhijrah. Ketika diajak solat, beliauelihat ibunya berada dalam kondisi menjelang kematian sementara doa-doa dan membaca Al Quran telah terlupa. Di sisi itulah beliau tersadar dan mengundurkan diri dari gemerlap dunia pertelevisian. Betapa gembira Abahnya, hingga diadakan selamatan karena anaknya keluar dari dunia itu. Potong sapi dan umroh sekeluarga menjadi pertanda kegembiraan.

Setahun beliau 'dinetralkan' di sebuah pesantren. Lalu kini memilih menjadi supir taksi. Keberkahan membuatnya bahagia. Uang berlimpah tapi minim keberkahan, tak bisa memberikan kebahagiaan. Justru dengan uang 100 ribu per hari tapi berkah, hati akan terasa penuh dengan kesyukuran.

Setiap orang memang memiliki masa lalu. Bisa jadi masa lalu yang indah, maupun kelam. Tapi apakah kita mau terus di tempat yang kelam, atau menuju cahaya yang terang benderang? Betapa Allah Maha Pengasih dan Penyayang pada setiap makhluk. Ampunannya lebih besar daripada dosa yang pernah kita perbuat. Semoga beliau istiqomah tetap di jalan yang penuh cahaya Allah, dan kita bisa mengambil pelajarannya :)

Minggu, 20 Maret 2016

Masalah Gizi Indonesia terkait 1000 HPK

Resume Seminar Nasional “Stunting And The Future Risk Of Obesity” Bag 1

Pada hari Sabtu, 12 Maret 2016 yang lalu, saya menghadiri sebuah seminar yang diprakarsai oleh Pokja Gizi dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran UGM di RSUP Dr. Sardjito. Ketika saya sampai di tempat diadakannya seminar, saya merasa terasing. Bayangkan saja, hampir semua berlatar belakang kesehatan, baik mahasiswa, dosen, bahkan staf rumah sakit. Sedangkan saya berlatar belakang teknologi pangan, meskipun mempelajari gizi dan kesehatan juga. Memang tak bisa dipungkiri bahwa makanan dan kesehatan saling mempengaruhi. Kekurangan makanan akan mengakibatkan kekurangan gizi, dan sebaliknya. Seperti seminar ini saja, tentang masalah gizi ganda yang terjadi di Indonesia.
Sebelum ke materi, ada baiknya saya menjabarkan pemahaman saya dari yang saya pelajari mengenai stunting dan obesitas. Stunting adalah kondisi kekurangan gizi yang ditandai dengan tinggi badan ketika dewasa kurang dari 150 cm. Biasanya akan dipelajari di mata kuliah gizi mikro, karena salah satu penyebab stunting diakibatkan oleh kurangnya beberapa mineral dalam tubuh. Sedangkan obesitas tentu sudah diketahui secara umum, yaitu masalah kelebihan gizi. Mudahnya dilihat dari BMI (body mass index) lebih dari 30. Perhitungan BMI berdasarkan bobot badan dibagi kuadrat tinggi badan dalam satuan meter. Sejauh yang saya paham –sebelum ikut seminar ini- kedua masalah gizi tersebut murni karena makanan. Tapi benarkah pemahaman saya?
Pemateri pertama berasal dari pejabat pemerintahan yang mengurusi gizi masyarakat, Pak Doddy Izwardy namanya. Beliau memaparkan berkaitan masalah gizi ganda tesebut dengan kebijkan pemerintah terkait dengan gerakan percepatan 1000 HPK atau hari pertama kehidupan. Beliau ingin mengatasi stunting yang ada di Indonesia dan menjadikan anak negeri ini bergizi, tinggi dan berprestasi. Karena masalah stunting memang erat dengan kurang gizi, kurang tinggi dan kurang berprestasi.
Bila dalam gambaran saya, stunting baru bisa dideteksi setelah dewasa. Namun ternyata dari orang-orang kesehatan melihatnya lebih awal. Dalam salah satu slide, beliau menggambarkan tinggi normal anak 4 tahun dan 7 tahun. Lalu ada anak ke-3 berusia 7 tahun namun tinggi badannya masih seperti anak usia 4 tahun. Kondisi seperti ini sudah dapat dikatakan stunting. Karena tinggi badan anak tidak sesuai dengan usia.
 Biasanya kita akan mengkaitkan masalah kurang gizi dengan kurangnya asupan pangan. Kurangnya asupan pangan biasanya akan diasosiasikan dengan kondisi ekonomi yang berada di bawah rata-rata. Namun sekali lagi, data yang beliau paparkan berbeda. Bahkan anak yang berasal dari keluarga kaya pun bisa mengalami masalah gizi ini. Dari data, prevalensi stunting antara balita kelompok termiskin sanat tinggi (40,5%) , tapi pada kelompok terkaya juga tinggi (30,3%). Tidak semua anak dari kelompok termiskin mengalami stunting, bahkan lebih dari setengahnya yang tidak stunting. Menurut beliau, hal ini mengindikasikan bahwa kemiskinan dan akses pangan tidak selalu menjadi satu-satunya faktor, tapi juga terkait dengan pola asuh dan kejadian penyakit.
Ironisnya, data mengenai gizi lebih pada balita juga cukup tinggi. Padahal dengan gizi lebih yang mengakibatkan obesitas pada balita akan mengakibatkan berbagai  penyakit, seperti hipertensi, diabetes, dan stroke. Prevalensi gemuk terendah berada di NTT (8,7%) dan tertinggi di Jakarta (30,1%0. Pada orang dewasa, prevalensi obesitas di Asia Tenggara teritinggi adalah Malaysia (44,2%) dan terendah Vietnam, sedangkan Indonesia sekitar 21% penduduk dewasanya mengalami obesitas. Beliau katakan bahwa di Malaysia gagal menerapkan asi ekslusif bagi anak, sedangkan di Vietnam benar-benar melarang adanya susu formula. Lalu bila dibandingkan pada status ekonomi, ternyata kelebihan gizi pada balita di kelompok termiskin juga tidak terlalu jauh dari kelompok terkaya. Lagi-lagi masalah gizi ini bukan hanya dari pola makan saja.
Selama ini banyak digembar-gemborkan tentang 1000 hari pertama kehidupan. Sebenarnya 1000 hari pertama kehidupan dimulai dari 270 hari selama kehamilan dan 730 hari kehidupan pertama bayi setelah dilahirkan. Masa-masa ini merupakan periode sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Dampak tersebut tidak hanya pada pertumbuhan fisik, tapi juga pada perkembangan mental dan kecerdasan, yang pada usia dewasa terlihat dari ukuran fisik yang tidak optimal serta kualitas kerja yang tidak kompetiif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi.
Pada 270 hari selama kehamilan, bayi yang mengalami kekurangan gizi di dalam kandungan dan telah melakukan adaptasi metabolik dari endokrin secara permanen akan mengalami kesulitn utuk beradaptasi pada lingkungan “kaya gizi” setelah lahir. Sehingga menyebabkan obesitas dan gangguan toleransi terhadap glukosa. Sebaliknya, resiko obesias lebih kecil apabila pasca lahir bayi tetap mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang tidak berlebihan. Wanita hamil yang overweight dapat melahirkan bayi makrosomik (sangat besar) yang seringkali tidak bisa memproduksi insulin dengan baik, sehingga beresiko mengalami obesitas dan diabetes tipe 2. Anak dari ibu obese atau diabetes mempunyai risiko lebih tinggi menderita diabetes dan komplikasi kardiometabolik lainnya.
Pada 730 hari setelah kelahiran (0-2 tahun) merupakan fase penentuan, ada pula yang enatakan fase ini adalah waktu emas tumbuh kembang anak. masa-masa ini seharusnya anak diberikan asi, terutama pada usia 0-6 bulan pertama. Pak Doddy menyampaikan bahwa pada usia 6 bulan pertama kehidupan manusia, sebaiknya tidak diberikan susu formula sama sekali. Cukuplah asi sebagai makanan anak. Pemberian susu formula yang banyak dan terus menerus dapat mengakibatkan anak menjadi gemuk karena laktosa yang terkandung dalam susu formula banyak mengandung gula dan lemak. Sedangkan organ pencernaan baduta khususnya anak usia 0-6 bulan belum sempurna.
Pada pola asuh makan yang tidak sesuai selama 1000 HPK terutama saat 6 bulan pertama kehidupan bayi akan mempengaruhi status gizi bayi. Bayi yang BBLR (bobot bayi lahir rendah) jika penangannya tidak tepat, diberikan asupan yang berlebih saat dewasa akan lebih beresiko obesitas.
Sesungguhnya pernyataan ini sangat kontroversial, terutama di kalangan ibu. Karena memang tidak semua ibu bisa menyusui bayinya. Entah karena si ibu yang mengalami penyakit yang tidak diizinkan menyusui bayinya meskipun produksi air susu yang berlimpah. Mungkin produksi air susu ibu yang sangat sedikit sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi, atau sebab lainnya. Tapi tentulah beliau menyampaikan dengan data, bukan hanya menyampaikan. Allahu’alam

Selasa, 19 Januari 2016

Pangan Lokal Bukan Kampungan

Kebijakan pemerintah tentang perdagangan luar negeri, kini telah tapak di depan mata. Produk-produk asing dengan mudahnya memasuki pasar dalam Indonesia. Kehadiran produk lokal akan menggeser produk lokal, baik produk mentah (raw material) maupun produk jadi. Masyarakat Indonesia dengan pola pikir konsumsi produk luar lebih modern, lebih baik kualitasnya, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi produk lokal untuk bersaing mendapatkan konsumen. Tak terkecuali pada produk-produk makanan yang akan terbanjiri dengan makanan dari luar negeri.

Menyadarkan masyarakat untuk kembali mengkonsumsi produk-produk pangan lokal, tentu bukan hal yang mudah. Perlu inovasi dan pembelajaran. Namun dengan adanya tren slow food yang digaungkan, akan memberi nafas lega bagi produk pangan lokal. Prinsip slow food yang mengembalikan konsumsi pangan ke cara-cara pemasakan yang tradisional dan memperpendek rantai distribusi, jelas akan mengembalikan konsumen pada makanan yang ada di dekatnya.  Belum lagi pemberitaan yang cukup masif tentang kandungan pangan lokal yang baik untuk kesehatan, menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen.

Beberapa pangan lokal Indonesia, yang bahkan sudah mulai dilupakan, saat ini banyak diteliti kandungan gizi dan manfaat kesehatannya. Sebutlah buah manggis yang kini diketahui memiliki kandungan antioksidan yang cukup baik untuk menangkal radikal bebas. Selain buah-buahan lokal, produk fermentasi dan jamu juga banyak dilirik untuk diteliti. Seperti gatot, yang disebutkan dapat meningkatkan sistem imun dalam tubuh dan menghilangkan mikroba patogen dalam tubuh manusia.

Allah sudah menciptakan buah-buahan, sayur-sayuran, dan berbagai daging serta susu dari tempat tinggal kita untuk kita konsumsi, tentu bukan tanpa sebab. Karena dengan mengkonsumsi pangan lokal akan memenuhi gizi sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh. Buah-buah hadir dengan musim yang berbeda sesuai dengan kebutuhan tubuh kita. Begitu pula produk lokal lainnya.


Sayangnya kandungan gizi yang baik dan manfaat kesehatan yang terdapat dalam pangan lokal, kalah dengan gengsi karena panganan tersebut terkesan “kampungan”. Jangan sampai kita yang memiliki, tapi diklaim oleh negara lain. Bila sudah begitu, maka yang kita bisa salahkan adalah diri kita sendiri.

Air dalam Pangan

Dalam kehidupan, air merupakan kebutuhan mutlak bagi seluruh makhluk hidup. Tanpa konsumsi makanan kita dapat bertahan hidup lebih lama daripada bila tidak mengkonsumsi air. Allah berfirman dalam surat Al Anbiya: 30 yang artinya “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup”, yang artinya setiap makhluk hidup membutuhkan air.

Tak hanya manusia, air dalam bahan makanan pun menjadi komponen penting, dengan kadar yang berbeda-beda. Buah-buahan dan sayuran umumnya memiliki kadar air yang tinggi, sedangkan tepung dan kacang-kacangan memiliki kadar air yang rendah. Air dapat ditemukan baik di dalam sel (air intraselular) maupun di luar sel (air ekstraselular). Air dalam bahan makanan juga dibedakan menjadi air bebas dan air terikat. Air bebas adalah air yang tidak terikat pada jaringan, seperti dalam serat. Sedangkan air terikat merupakan air yang secara kimiawi terikat antara satu dengan yang lain atau terikat pada jaringan.

Terdapat beberapa fungsi air dalam bahan pangan, antara lain:
a.              Sebagai penanda kesegaran bahan makanan. Bahan-bahan tertentu seperti buah, sayur, ikan dan daging yang segar memiliki kandungan air yang tinggi. Kekurangan air pada buah dan sayur akan mengakibatkan kelayuan dan menunjukkan pertanda kerusakan. Bahan makanan dengan kadar air yang tinggi relatif lebih cepat rusak dan memiliki umur simpan lebih singkat dibandingkan dengan bahan makanan kering. Oleh karena itu, tak jarang pengurangan kadar air dilakukan untuk memperlama umur simpan.
b.              Sebagai pelarut. Beberapa vitamin, membutuhkan air sebagai pelarut. Vitamin B dan C hanya dapat larut dalam air. Sedangkan vitamin A, D, E, dan K larut dalam lemak.
c.               Berperan dalam berbagai reaksi kimia. Dalam sistem biologis, air dibutuhkan untuk memecah zat-zat gizi yang berbentuk kompleks (seperti protein, lemak, dan karbohidrat) menjadi komponen-komponen yang lebih kecil sehingga dapat dicerna oleh tubuh. Pemecahan zat-zat gizi dengan menggunakan air disebut hidrolisis.
d.              Faktor penting dalam pertumbuhan mikroba. Mikroba dalam bahan pangan terbagi menjadi tiga jenis, kapang (lebih dikenal sebagai jamur), khamir, dan bakteri. Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan membutuhkan lingkungan yang sesuai, antara lain adalah ketersediaan air bebas. Pada umumnya, makanan dengan kadar air tinggi lebih disukai oleh mikroba.


Pengendalian air dalam bahan pangan tentu penting diperhatikan. Selain untuk mencegah tumbuhnya mikroba yang tidak diinginkan, dari segi estetis lebih menyenangkan bila melihat bahan makanan segar. 

Makan Nasi = Makan Racun?

Beberapa kali saya mendapati orang menghindari makan nasi dan menganggapnya seperti racun yang mematikan. Apa seburuk itu nasi dalam pandangan kita saat ini? Tapi kenapa baru saat ini saja nasi dikatakan racun sementara kita –di Indonesia terutama di Jawa- sudah sekian lama makan nasi. Bahkan ketika zaman para raja dan belum ada penjajahan dulu sudah makan nasi. Benarkah nasi adalah racun?

12 Desember 2015 lalu saya mengikuti seminar pangan fungsional dan nutrasetikal di sebuah hotel di Yogyakarta. Salah satu pembicara yang diundang adalah mantan menteri pertanian zaman pemerintahan Presiden SBY. Beliau mengupas tentang beras, dan tentunya nasi.

Berdasarkan pemaparan beliau, beras mengandung GABA (gama amino butiric acid) yang bisa meningkatkan kesehatan mental. Beras juga memiliki glutenin yang rendah sehingga aman bagi orang yang menderita penyakit pencernaan. Beras yang tinggi amilosa (peras pera/keras) baik untuk pasien diabetes. Kadar antioksidan yang tinggi seperti gamma-oryzanol dapat mencegah kanker. Bahkan ada pula inovasi beras emas, memiliki warna kekuningan yang mengandung vitamin A. Kandungan protein dalam beras juga memiliki fungsi kesehatan dan dapat mereduksi tumor.
Namun beras seperti apakah yang baik dikonsumsi? Ternyata bukan beras putih yang biasa kita makan. Beras coklat atau yang masih menyisakan bekatul, ternyata lebih baik daripada beras putih. Beras dengan bekatul dapat menurunkan resiko hiperkolesterolemia dan resiko penyakit jantung. Bekatul memiliki asam-asam lemak tak jenuh yang baik bagi kesehatan. Namun memang lebih mudah rusak.

Untuk mendapatkan beras coklat maupun beras yang masih memiliki bekatul tidaklah mudah. Lebih mudah mendapatkan beras merah maupun hitam. Kedua beras ini memiliki komponen bioaktif yang lebih tinggi daripada beras putih. Warna merah pada beras merah berasal dari antosianin. Antosianin merupakan antioksidan dari kelompok senyawa polifenol. Salah satu fungsi antosianin adalah mencegah terjadinya aterosklerosis atau penyumbatan pembuluh darah. Beberapa studi juga menyebutkan bahwa antosianin mampu mencegah diabetes dan obesitas.

Beras hitam juga mengandung antosianin dengan intensitas yang lebih tinggi sehingga berwarna ungu pekat mendekati hitam. Beras hitam berbeda dengan ketan hitam. Bila ketan hitam lebih lengket akibat tinggi kandungan amilosa, bila beras hitam tidak. Beras ini dikatakan aman bagi penderita diabetes karena memiliki indeks glikemik yang rendah. Indeks glikemik adalah satuan yang menyatakan kecepatan suatu bahan makanan mempengaruhi kadar gula dalam darah. Semakin tinggi nilainya, maka semakin cepat terjadi kenaikan gula darah. Makanan dengan indeks glikemik rendah, disarankan untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes.


Bila dilihat dari kandungan gizi dan komponen bioaktif dalam beras, seharusnya tidak mengakibatkan penyakit diabetes. Namun sekarang banyak bermunculan penyakit diabetes dan konsumsi beras (atau nasi) mulai dipermasalahkan. Bisa jadi yang bermasalah bukan nasi yang dimakan, namun gaya hidup yang berubah. Bila dulu makan nasi banyak dan tenaga banyak yang dikeluarkan untuk bercocok tanam, sekarang sudah digantikan dengan duduk diam di depan komputer dan jarang berolah raga. Jadi sesungguhnya bukan nasi yang menjadi racun, tapi kita yang enggan untuk bergerak mengakibatkan terjadinya penumpukan lemak dan memunculkan berbagai masalah kesehatan.