Selasa, 19 Januari 2016

Pangan Lokal Bukan Kampungan

Kebijakan pemerintah tentang perdagangan luar negeri, kini telah tapak di depan mata. Produk-produk asing dengan mudahnya memasuki pasar dalam Indonesia. Kehadiran produk lokal akan menggeser produk lokal, baik produk mentah (raw material) maupun produk jadi. Masyarakat Indonesia dengan pola pikir konsumsi produk luar lebih modern, lebih baik kualitasnya, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi produk lokal untuk bersaing mendapatkan konsumen. Tak terkecuali pada produk-produk makanan yang akan terbanjiri dengan makanan dari luar negeri.

Menyadarkan masyarakat untuk kembali mengkonsumsi produk-produk pangan lokal, tentu bukan hal yang mudah. Perlu inovasi dan pembelajaran. Namun dengan adanya tren slow food yang digaungkan, akan memberi nafas lega bagi produk pangan lokal. Prinsip slow food yang mengembalikan konsumsi pangan ke cara-cara pemasakan yang tradisional dan memperpendek rantai distribusi, jelas akan mengembalikan konsumen pada makanan yang ada di dekatnya.  Belum lagi pemberitaan yang cukup masif tentang kandungan pangan lokal yang baik untuk kesehatan, menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen.

Beberapa pangan lokal Indonesia, yang bahkan sudah mulai dilupakan, saat ini banyak diteliti kandungan gizi dan manfaat kesehatannya. Sebutlah buah manggis yang kini diketahui memiliki kandungan antioksidan yang cukup baik untuk menangkal radikal bebas. Selain buah-buahan lokal, produk fermentasi dan jamu juga banyak dilirik untuk diteliti. Seperti gatot, yang disebutkan dapat meningkatkan sistem imun dalam tubuh dan menghilangkan mikroba patogen dalam tubuh manusia.

Allah sudah menciptakan buah-buahan, sayur-sayuran, dan berbagai daging serta susu dari tempat tinggal kita untuk kita konsumsi, tentu bukan tanpa sebab. Karena dengan mengkonsumsi pangan lokal akan memenuhi gizi sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh. Buah-buah hadir dengan musim yang berbeda sesuai dengan kebutuhan tubuh kita. Begitu pula produk lokal lainnya.


Sayangnya kandungan gizi yang baik dan manfaat kesehatan yang terdapat dalam pangan lokal, kalah dengan gengsi karena panganan tersebut terkesan “kampungan”. Jangan sampai kita yang memiliki, tapi diklaim oleh negara lain. Bila sudah begitu, maka yang kita bisa salahkan adalah diri kita sendiri.

Air dalam Pangan

Dalam kehidupan, air merupakan kebutuhan mutlak bagi seluruh makhluk hidup. Tanpa konsumsi makanan kita dapat bertahan hidup lebih lama daripada bila tidak mengkonsumsi air. Allah berfirman dalam surat Al Anbiya: 30 yang artinya “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup”, yang artinya setiap makhluk hidup membutuhkan air.

Tak hanya manusia, air dalam bahan makanan pun menjadi komponen penting, dengan kadar yang berbeda-beda. Buah-buahan dan sayuran umumnya memiliki kadar air yang tinggi, sedangkan tepung dan kacang-kacangan memiliki kadar air yang rendah. Air dapat ditemukan baik di dalam sel (air intraselular) maupun di luar sel (air ekstraselular). Air dalam bahan makanan juga dibedakan menjadi air bebas dan air terikat. Air bebas adalah air yang tidak terikat pada jaringan, seperti dalam serat. Sedangkan air terikat merupakan air yang secara kimiawi terikat antara satu dengan yang lain atau terikat pada jaringan.

Terdapat beberapa fungsi air dalam bahan pangan, antara lain:
a.              Sebagai penanda kesegaran bahan makanan. Bahan-bahan tertentu seperti buah, sayur, ikan dan daging yang segar memiliki kandungan air yang tinggi. Kekurangan air pada buah dan sayur akan mengakibatkan kelayuan dan menunjukkan pertanda kerusakan. Bahan makanan dengan kadar air yang tinggi relatif lebih cepat rusak dan memiliki umur simpan lebih singkat dibandingkan dengan bahan makanan kering. Oleh karena itu, tak jarang pengurangan kadar air dilakukan untuk memperlama umur simpan.
b.              Sebagai pelarut. Beberapa vitamin, membutuhkan air sebagai pelarut. Vitamin B dan C hanya dapat larut dalam air. Sedangkan vitamin A, D, E, dan K larut dalam lemak.
c.               Berperan dalam berbagai reaksi kimia. Dalam sistem biologis, air dibutuhkan untuk memecah zat-zat gizi yang berbentuk kompleks (seperti protein, lemak, dan karbohidrat) menjadi komponen-komponen yang lebih kecil sehingga dapat dicerna oleh tubuh. Pemecahan zat-zat gizi dengan menggunakan air disebut hidrolisis.
d.              Faktor penting dalam pertumbuhan mikroba. Mikroba dalam bahan pangan terbagi menjadi tiga jenis, kapang (lebih dikenal sebagai jamur), khamir, dan bakteri. Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan membutuhkan lingkungan yang sesuai, antara lain adalah ketersediaan air bebas. Pada umumnya, makanan dengan kadar air tinggi lebih disukai oleh mikroba.


Pengendalian air dalam bahan pangan tentu penting diperhatikan. Selain untuk mencegah tumbuhnya mikroba yang tidak diinginkan, dari segi estetis lebih menyenangkan bila melihat bahan makanan segar. 

Makan Nasi = Makan Racun?

Beberapa kali saya mendapati orang menghindari makan nasi dan menganggapnya seperti racun yang mematikan. Apa seburuk itu nasi dalam pandangan kita saat ini? Tapi kenapa baru saat ini saja nasi dikatakan racun sementara kita –di Indonesia terutama di Jawa- sudah sekian lama makan nasi. Bahkan ketika zaman para raja dan belum ada penjajahan dulu sudah makan nasi. Benarkah nasi adalah racun?

12 Desember 2015 lalu saya mengikuti seminar pangan fungsional dan nutrasetikal di sebuah hotel di Yogyakarta. Salah satu pembicara yang diundang adalah mantan menteri pertanian zaman pemerintahan Presiden SBY. Beliau mengupas tentang beras, dan tentunya nasi.

Berdasarkan pemaparan beliau, beras mengandung GABA (gama amino butiric acid) yang bisa meningkatkan kesehatan mental. Beras juga memiliki glutenin yang rendah sehingga aman bagi orang yang menderita penyakit pencernaan. Beras yang tinggi amilosa (peras pera/keras) baik untuk pasien diabetes. Kadar antioksidan yang tinggi seperti gamma-oryzanol dapat mencegah kanker. Bahkan ada pula inovasi beras emas, memiliki warna kekuningan yang mengandung vitamin A. Kandungan protein dalam beras juga memiliki fungsi kesehatan dan dapat mereduksi tumor.
Namun beras seperti apakah yang baik dikonsumsi? Ternyata bukan beras putih yang biasa kita makan. Beras coklat atau yang masih menyisakan bekatul, ternyata lebih baik daripada beras putih. Beras dengan bekatul dapat menurunkan resiko hiperkolesterolemia dan resiko penyakit jantung. Bekatul memiliki asam-asam lemak tak jenuh yang baik bagi kesehatan. Namun memang lebih mudah rusak.

Untuk mendapatkan beras coklat maupun beras yang masih memiliki bekatul tidaklah mudah. Lebih mudah mendapatkan beras merah maupun hitam. Kedua beras ini memiliki komponen bioaktif yang lebih tinggi daripada beras putih. Warna merah pada beras merah berasal dari antosianin. Antosianin merupakan antioksidan dari kelompok senyawa polifenol. Salah satu fungsi antosianin adalah mencegah terjadinya aterosklerosis atau penyumbatan pembuluh darah. Beberapa studi juga menyebutkan bahwa antosianin mampu mencegah diabetes dan obesitas.

Beras hitam juga mengandung antosianin dengan intensitas yang lebih tinggi sehingga berwarna ungu pekat mendekati hitam. Beras hitam berbeda dengan ketan hitam. Bila ketan hitam lebih lengket akibat tinggi kandungan amilosa, bila beras hitam tidak. Beras ini dikatakan aman bagi penderita diabetes karena memiliki indeks glikemik yang rendah. Indeks glikemik adalah satuan yang menyatakan kecepatan suatu bahan makanan mempengaruhi kadar gula dalam darah. Semakin tinggi nilainya, maka semakin cepat terjadi kenaikan gula darah. Makanan dengan indeks glikemik rendah, disarankan untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes.


Bila dilihat dari kandungan gizi dan komponen bioaktif dalam beras, seharusnya tidak mengakibatkan penyakit diabetes. Namun sekarang banyak bermunculan penyakit diabetes dan konsumsi beras (atau nasi) mulai dipermasalahkan. Bisa jadi yang bermasalah bukan nasi yang dimakan, namun gaya hidup yang berubah. Bila dulu makan nasi banyak dan tenaga banyak yang dikeluarkan untuk bercocok tanam, sekarang sudah digantikan dengan duduk diam di depan komputer dan jarang berolah raga. Jadi sesungguhnya bukan nasi yang menjadi racun, tapi kita yang enggan untuk bergerak mengakibatkan terjadinya penumpukan lemak dan memunculkan berbagai masalah kesehatan.