Kebijakan pemerintah tentang perdagangan luar negeri, kini
telah tapak di depan mata. Produk-produk asing dengan mudahnya memasuki pasar
dalam Indonesia. Kehadiran produk lokal akan menggeser produk lokal, baik
produk mentah (raw material) maupun produk jadi. Masyarakat Indonesia dengan
pola pikir konsumsi produk luar lebih modern, lebih baik kualitasnya, tentu
menjadi tantangan tersendiri bagi produk lokal untuk bersaing mendapatkan
konsumen. Tak terkecuali pada produk-produk makanan yang akan terbanjiri dengan
makanan dari luar negeri.
Menyadarkan masyarakat untuk kembali mengkonsumsi
produk-produk pangan lokal, tentu bukan hal yang mudah. Perlu inovasi dan
pembelajaran. Namun dengan adanya tren slow
food yang digaungkan, akan memberi nafas lega bagi produk pangan lokal.
Prinsip slow food yang mengembalikan
konsumsi pangan ke cara-cara pemasakan yang tradisional dan memperpendek rantai
distribusi, jelas akan mengembalikan konsumen pada makanan yang ada di
dekatnya. Belum lagi pemberitaan yang
cukup masif tentang kandungan pangan lokal yang baik untuk kesehatan, menjadi
daya tarik tersendiri bagi konsumen.
Beberapa pangan lokal Indonesia, yang bahkan sudah mulai
dilupakan, saat ini banyak diteliti kandungan gizi dan manfaat kesehatannya.
Sebutlah buah manggis yang kini diketahui memiliki kandungan antioksidan yang
cukup baik untuk menangkal radikal bebas. Selain buah-buahan lokal, produk
fermentasi dan jamu juga banyak dilirik untuk diteliti. Seperti gatot, yang
disebutkan dapat meningkatkan sistem imun dalam tubuh dan menghilangkan mikroba
patogen dalam tubuh manusia.
Allah sudah menciptakan buah-buahan, sayur-sayuran, dan
berbagai daging serta susu dari tempat tinggal kita untuk kita konsumsi, tentu
bukan tanpa sebab. Karena dengan mengkonsumsi pangan lokal akan memenuhi gizi
sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh. Buah-buah hadir dengan musim yang berbeda
sesuai dengan kebutuhan tubuh kita. Begitu pula produk lokal lainnya.
Sayangnya kandungan gizi yang baik dan manfaat kesehatan
yang terdapat dalam pangan lokal, kalah dengan gengsi karena panganan tersebut
terkesan “kampungan”. Jangan sampai kita yang memiliki, tapi diklaim oleh
negara lain. Bila sudah begitu, maka yang kita bisa salahkan adalah diri kita
sendiri.