Resume Seminar Nasional “Stunting And The Future Risk Of
Obesity” Bag 1
Pada hari Sabtu, 12 Maret 2016
yang lalu, saya menghadiri sebuah seminar yang diprakarsai oleh Pokja Gizi dan
Kesehatan, Fakultas Kedokteran UGM di RSUP Dr. Sardjito. Ketika saya sampai di
tempat diadakannya seminar, saya merasa terasing. Bayangkan saja, hampir semua
berlatar belakang kesehatan, baik mahasiswa, dosen, bahkan staf rumah sakit.
Sedangkan saya berlatar belakang teknologi pangan, meskipun mempelajari gizi
dan kesehatan juga. Memang tak bisa dipungkiri bahwa makanan dan kesehatan
saling mempengaruhi. Kekurangan makanan akan mengakibatkan kekurangan gizi, dan
sebaliknya. Seperti seminar ini saja, tentang masalah gizi ganda yang terjadi
di Indonesia.
Sebelum ke materi, ada baiknya
saya menjabarkan pemahaman saya dari yang saya pelajari mengenai stunting dan
obesitas. Stunting adalah kondisi kekurangan gizi yang ditandai dengan tinggi
badan ketika dewasa kurang dari 150 cm. Biasanya akan dipelajari di mata kuliah
gizi mikro, karena salah satu penyebab stunting diakibatkan oleh kurangnya
beberapa mineral dalam tubuh. Sedangkan obesitas tentu sudah diketahui secara
umum, yaitu masalah kelebihan gizi. Mudahnya dilihat dari BMI (body mass index) lebih dari 30.
Perhitungan BMI berdasarkan bobot badan dibagi kuadrat tinggi badan dalam
satuan meter. Sejauh yang saya paham –sebelum ikut seminar ini- kedua masalah
gizi tersebut murni karena makanan. Tapi benarkah pemahaman saya?
Pemateri pertama berasal dari
pejabat pemerintahan yang mengurusi gizi masyarakat, Pak Doddy Izwardy namanya.
Beliau memaparkan berkaitan masalah gizi ganda tesebut dengan kebijkan
pemerintah terkait dengan gerakan percepatan 1000 HPK atau hari pertama
kehidupan. Beliau ingin mengatasi stunting yang ada di Indonesia dan menjadikan
anak negeri ini bergizi, tinggi dan berprestasi. Karena masalah stunting memang
erat dengan kurang gizi, kurang tinggi dan kurang berprestasi.
Bila dalam gambaran saya, stunting
baru bisa dideteksi setelah dewasa. Namun ternyata dari orang-orang kesehatan
melihatnya lebih awal. Dalam salah satu slide,
beliau menggambarkan tinggi normal anak 4 tahun dan 7 tahun. Lalu ada anak ke-3
berusia 7 tahun namun tinggi badannya masih seperti anak usia 4 tahun. Kondisi
seperti ini sudah dapat dikatakan stunting. Karena tinggi badan anak tidak
sesuai dengan usia.
Biasanya kita akan mengkaitkan masalah kurang
gizi dengan kurangnya asupan pangan. Kurangnya asupan pangan biasanya akan
diasosiasikan dengan kondisi ekonomi yang berada di bawah rata-rata. Namun
sekali lagi, data yang beliau paparkan berbeda. Bahkan anak yang berasal dari
keluarga kaya pun bisa mengalami masalah gizi ini. Dari data, prevalensi
stunting antara balita kelompok termiskin sanat tinggi (40,5%) , tapi pada kelompok terkaya
juga tinggi (30,3%). Tidak semua anak dari kelompok termiskin mengalami
stunting, bahkan lebih dari setengahnya yang tidak stunting. Menurut beliau,
hal ini mengindikasikan bahwa kemiskinan dan akses pangan tidak selalu menjadi
satu-satunya faktor, tapi juga terkait dengan pola asuh dan kejadian penyakit.
Ironisnya, data mengenai gizi lebih
pada balita juga cukup tinggi. Padahal dengan gizi lebih yang mengakibatkan
obesitas pada balita akan mengakibatkan berbagai penyakit, seperti hipertensi, diabetes, dan
stroke. Prevalensi gemuk terendah berada di NTT (8,7%) dan tertinggi di Jakarta
(30,1%0. Pada orang dewasa, prevalensi obesitas di Asia Tenggara teritinggi
adalah Malaysia (44,2%) dan terendah Vietnam, sedangkan Indonesia sekitar 21%
penduduk dewasanya mengalami obesitas. Beliau katakan bahwa di Malaysia gagal
menerapkan asi ekslusif bagi anak, sedangkan di Vietnam benar-benar melarang
adanya susu formula. Lalu bila dibandingkan pada status ekonomi, ternyata
kelebihan gizi pada balita di kelompok termiskin juga tidak terlalu jauh dari
kelompok terkaya. Lagi-lagi masalah gizi ini bukan hanya dari pola makan saja.
Selama ini banyak digembar-gemborkan
tentang 1000 hari pertama kehidupan. Sebenarnya 1000 hari pertama kehidupan
dimulai dari 270 hari selama kehamilan dan 730 hari kehidupan pertama bayi
setelah dilahirkan. Masa-masa ini merupakan periode sensitif karena akibat yang
ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat
dikoreksi. Dampak tersebut tidak hanya pada pertumbuhan fisik, tapi juga pada
perkembangan mental dan kecerdasan, yang pada usia dewasa terlihat dari ukuran
fisik yang tidak optimal serta kualitas kerja yang tidak kompetiif yang
berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi.
Pada 270 hari selama kehamilan, bayi
yang mengalami kekurangan gizi di dalam kandungan dan telah melakukan adaptasi
metabolik dari endokrin secara permanen akan mengalami kesulitn utuk
beradaptasi pada lingkungan “kaya gizi” setelah lahir. Sehingga menyebabkan
obesitas dan gangguan toleransi terhadap glukosa. Sebaliknya, resiko obesias
lebih kecil apabila pasca lahir bayi tetap mengkonsumsi makanan dalam jumlah
yang tidak berlebihan. Wanita hamil yang overweight dapat melahirkan bayi
makrosomik (sangat besar) yang seringkali tidak bisa memproduksi insulin dengan
baik, sehingga beresiko mengalami obesitas dan diabetes tipe 2. Anak dari ibu
obese atau diabetes mempunyai risiko lebih tinggi menderita diabetes dan
komplikasi kardiometabolik lainnya.
Pada 730 hari setelah kelahiran (0-2
tahun) merupakan fase penentuan, ada pula yang enatakan fase ini adalah waktu
emas tumbuh kembang anak. masa-masa ini seharusnya anak diberikan asi, terutama
pada usia 0-6 bulan pertama. Pak Doddy menyampaikan bahwa pada usia 6 bulan pertama
kehidupan manusia, sebaiknya tidak diberikan susu formula sama sekali. Cukuplah
asi sebagai makanan anak. Pemberian susu formula yang banyak dan terus menerus
dapat mengakibatkan anak menjadi gemuk karena laktosa yang terkandung dalam
susu formula banyak mengandung gula dan lemak. Sedangkan organ pencernaan
baduta khususnya anak usia 0-6 bulan belum sempurna.
Pada pola asuh makan yang tidak sesuai
selama 1000 HPK terutama saat 6 bulan pertama kehidupan bayi akan mempengaruhi
status gizi bayi. Bayi yang BBLR (bobot bayi lahir rendah) jika penangannya
tidak tepat, diberikan asupan yang berlebih saat dewasa akan lebih beresiko
obesitas.
Sesungguhnya
pernyataan ini sangat kontroversial, terutama di kalangan ibu. Karena memang
tidak semua ibu bisa menyusui bayinya. Entah karena si ibu yang mengalami
penyakit yang tidak diizinkan menyusui bayinya meskipun produksi air susu yang
berlimpah. Mungkin produksi air susu ibu yang sangat sedikit sehingga tidak
mencukupi kebutuhan bayi, atau sebab lainnya. Tapi tentulah beliau menyampaikan
dengan data, bukan hanya menyampaikan. Allahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar