Minggu, 20 Maret 2016

Masalah Gizi Indonesia terkait 1000 HPK

Resume Seminar Nasional “Stunting And The Future Risk Of Obesity” Bag 1

Pada hari Sabtu, 12 Maret 2016 yang lalu, saya menghadiri sebuah seminar yang diprakarsai oleh Pokja Gizi dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran UGM di RSUP Dr. Sardjito. Ketika saya sampai di tempat diadakannya seminar, saya merasa terasing. Bayangkan saja, hampir semua berlatar belakang kesehatan, baik mahasiswa, dosen, bahkan staf rumah sakit. Sedangkan saya berlatar belakang teknologi pangan, meskipun mempelajari gizi dan kesehatan juga. Memang tak bisa dipungkiri bahwa makanan dan kesehatan saling mempengaruhi. Kekurangan makanan akan mengakibatkan kekurangan gizi, dan sebaliknya. Seperti seminar ini saja, tentang masalah gizi ganda yang terjadi di Indonesia.
Sebelum ke materi, ada baiknya saya menjabarkan pemahaman saya dari yang saya pelajari mengenai stunting dan obesitas. Stunting adalah kondisi kekurangan gizi yang ditandai dengan tinggi badan ketika dewasa kurang dari 150 cm. Biasanya akan dipelajari di mata kuliah gizi mikro, karena salah satu penyebab stunting diakibatkan oleh kurangnya beberapa mineral dalam tubuh. Sedangkan obesitas tentu sudah diketahui secara umum, yaitu masalah kelebihan gizi. Mudahnya dilihat dari BMI (body mass index) lebih dari 30. Perhitungan BMI berdasarkan bobot badan dibagi kuadrat tinggi badan dalam satuan meter. Sejauh yang saya paham –sebelum ikut seminar ini- kedua masalah gizi tersebut murni karena makanan. Tapi benarkah pemahaman saya?
Pemateri pertama berasal dari pejabat pemerintahan yang mengurusi gizi masyarakat, Pak Doddy Izwardy namanya. Beliau memaparkan berkaitan masalah gizi ganda tesebut dengan kebijkan pemerintah terkait dengan gerakan percepatan 1000 HPK atau hari pertama kehidupan. Beliau ingin mengatasi stunting yang ada di Indonesia dan menjadikan anak negeri ini bergizi, tinggi dan berprestasi. Karena masalah stunting memang erat dengan kurang gizi, kurang tinggi dan kurang berprestasi.
Bila dalam gambaran saya, stunting baru bisa dideteksi setelah dewasa. Namun ternyata dari orang-orang kesehatan melihatnya lebih awal. Dalam salah satu slide, beliau menggambarkan tinggi normal anak 4 tahun dan 7 tahun. Lalu ada anak ke-3 berusia 7 tahun namun tinggi badannya masih seperti anak usia 4 tahun. Kondisi seperti ini sudah dapat dikatakan stunting. Karena tinggi badan anak tidak sesuai dengan usia.
 Biasanya kita akan mengkaitkan masalah kurang gizi dengan kurangnya asupan pangan. Kurangnya asupan pangan biasanya akan diasosiasikan dengan kondisi ekonomi yang berada di bawah rata-rata. Namun sekali lagi, data yang beliau paparkan berbeda. Bahkan anak yang berasal dari keluarga kaya pun bisa mengalami masalah gizi ini. Dari data, prevalensi stunting antara balita kelompok termiskin sanat tinggi (40,5%) , tapi pada kelompok terkaya juga tinggi (30,3%). Tidak semua anak dari kelompok termiskin mengalami stunting, bahkan lebih dari setengahnya yang tidak stunting. Menurut beliau, hal ini mengindikasikan bahwa kemiskinan dan akses pangan tidak selalu menjadi satu-satunya faktor, tapi juga terkait dengan pola asuh dan kejadian penyakit.
Ironisnya, data mengenai gizi lebih pada balita juga cukup tinggi. Padahal dengan gizi lebih yang mengakibatkan obesitas pada balita akan mengakibatkan berbagai  penyakit, seperti hipertensi, diabetes, dan stroke. Prevalensi gemuk terendah berada di NTT (8,7%) dan tertinggi di Jakarta (30,1%0. Pada orang dewasa, prevalensi obesitas di Asia Tenggara teritinggi adalah Malaysia (44,2%) dan terendah Vietnam, sedangkan Indonesia sekitar 21% penduduk dewasanya mengalami obesitas. Beliau katakan bahwa di Malaysia gagal menerapkan asi ekslusif bagi anak, sedangkan di Vietnam benar-benar melarang adanya susu formula. Lalu bila dibandingkan pada status ekonomi, ternyata kelebihan gizi pada balita di kelompok termiskin juga tidak terlalu jauh dari kelompok terkaya. Lagi-lagi masalah gizi ini bukan hanya dari pola makan saja.
Selama ini banyak digembar-gemborkan tentang 1000 hari pertama kehidupan. Sebenarnya 1000 hari pertama kehidupan dimulai dari 270 hari selama kehamilan dan 730 hari kehidupan pertama bayi setelah dilahirkan. Masa-masa ini merupakan periode sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Dampak tersebut tidak hanya pada pertumbuhan fisik, tapi juga pada perkembangan mental dan kecerdasan, yang pada usia dewasa terlihat dari ukuran fisik yang tidak optimal serta kualitas kerja yang tidak kompetiif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi.
Pada 270 hari selama kehamilan, bayi yang mengalami kekurangan gizi di dalam kandungan dan telah melakukan adaptasi metabolik dari endokrin secara permanen akan mengalami kesulitn utuk beradaptasi pada lingkungan “kaya gizi” setelah lahir. Sehingga menyebabkan obesitas dan gangguan toleransi terhadap glukosa. Sebaliknya, resiko obesias lebih kecil apabila pasca lahir bayi tetap mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang tidak berlebihan. Wanita hamil yang overweight dapat melahirkan bayi makrosomik (sangat besar) yang seringkali tidak bisa memproduksi insulin dengan baik, sehingga beresiko mengalami obesitas dan diabetes tipe 2. Anak dari ibu obese atau diabetes mempunyai risiko lebih tinggi menderita diabetes dan komplikasi kardiometabolik lainnya.
Pada 730 hari setelah kelahiran (0-2 tahun) merupakan fase penentuan, ada pula yang enatakan fase ini adalah waktu emas tumbuh kembang anak. masa-masa ini seharusnya anak diberikan asi, terutama pada usia 0-6 bulan pertama. Pak Doddy menyampaikan bahwa pada usia 6 bulan pertama kehidupan manusia, sebaiknya tidak diberikan susu formula sama sekali. Cukuplah asi sebagai makanan anak. Pemberian susu formula yang banyak dan terus menerus dapat mengakibatkan anak menjadi gemuk karena laktosa yang terkandung dalam susu formula banyak mengandung gula dan lemak. Sedangkan organ pencernaan baduta khususnya anak usia 0-6 bulan belum sempurna.
Pada pola asuh makan yang tidak sesuai selama 1000 HPK terutama saat 6 bulan pertama kehidupan bayi akan mempengaruhi status gizi bayi. Bayi yang BBLR (bobot bayi lahir rendah) jika penangannya tidak tepat, diberikan asupan yang berlebih saat dewasa akan lebih beresiko obesitas.
Sesungguhnya pernyataan ini sangat kontroversial, terutama di kalangan ibu. Karena memang tidak semua ibu bisa menyusui bayinya. Entah karena si ibu yang mengalami penyakit yang tidak diizinkan menyusui bayinya meskipun produksi air susu yang berlimpah. Mungkin produksi air susu ibu yang sangat sedikit sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi, atau sebab lainnya. Tapi tentulah beliau menyampaikan dengan data, bukan hanya menyampaikan. Allahu’alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar