Kamis, 13 November 2014

Keluarga Terpisah Pulau

Oleh: Sabrina Argentum

Keluargaku memang terkenal sebagai keluarga nomaden. Entah berapa kali bapak pindah kerja. Bukan pindah pekerjaan lho, tapi penempatannya yang berpindah-pindah. Kepindahan bapak juga menjadi alasan kami sering mengalami LDR alias Long Distance Relationship. Sejak Mbak Galuh masih bayi, sampai saat ini. Sebuah resiko yang harus ditempuh demi menghidupi keluarga. Angkat topi untuk bapak ibu yang sampai saat ini masih bersama meskipun terlalu sering berpisah.

Mungkin akan terdengar biasa bila dalam sebuah keluarga hanya ada satu atau dua anggota keluarga yang terpisah pulau. Pernah suatu saat, keluarga kami terpencar di empat pulau yang berbeda. Jangan bayangkan keluarga kami berupa keluarga besar, karena orang tuaku menganut anjuran pemerintah untuk ber-KB (Keluarga Berencana). Bisakah terbayang dalam satu keluarga dengan empat orang anggotanya terpisah di empat pulau yang berbeda?

Saat itu aku kelas XII masih di awal semester. Bapak akan dipindah lagi ke Pulau Buton, salah satu pulau yang berada di kaki huruf K Sulawesi, tepatnya di Provinsi Sulawesi Tenggara. Saat yang bersamaan, mbakku sudah di Jogja untuk melanjutkan studinya di sebuah universitas tertua di Indonesia. Ibu yang awalnya memberatkanku yang tetap tak mau ikut pindah dari Balikpapan, mulai terlihat gamang. Pastilah berat untuk melepas bapak sendiri di tengah pulau antah berantah di tengah terpaan kabar perselingkuhan beberapa rekan kerja bapak. Jalan tengah pun diambil, ibu ikut bapak sementara aku tetap di Balikpapan bersama kakak sepupu dan keluarganya. Sampai sini, keluargaku terpisah di tiga pulau.
***
Sudah lima bulan orang tuaku pindah ke Pulau Buton. Rumah dan seisinya, termasuk biaya listrik dan belanja bulanan aku yang mengatur. Tak apa, hitung-hitung jadi ibu rumah tangga sejak dini. Kapan lagi bisa belajar gratis seperti ini? Hehehe.

Setiap sebulan sekali ibuku pulang ke Balikpapan. Terkadang bersama bapak, tapi lebih sering sendiri. Saat ini ibu pulang, sendiri karena bapak ada urusan pekerjaan di Makassar. Berbagai oleh-oleh khas Buton dibawakan untukku. Bahkan beberapa ekor lobster besar yang konon katanya di Buton murah harganya. Bahagia? Pasti dong. Bisa kumpul lagi itu menyenangkan, meski kadang menyulut emosi dari kami sendiri. Hihihi. Karena lapar dan ngiler lihat lobster besar-besar yang harganya selangit, segera kukunyah beberapa potongan yang mampu aku ambil.

“Bu, kalau bapak ke Makassar gitu, Ibu selalu ikut?” tanyaku disela mengunyah lobster.

“Ya enggak. Kalau pas libur sih Ibu bisa ikut. Tapi kalau nggak ya, di Buton aja.”

Uhuk! Tiba-tiba aku tersedak dengan pengakuan ibu. Jadi kalau bapak sedang di Makassar yang berada di Pulau Sulawesi, ibu di Pulau Buton, Mbak Galuh di Jogja, dan aku di Balikpapan, kami semua berbeda pulau? Ternyata hebat juga keluargaku. Prinsip  Bhineka Tunggal Ika yang benar-benar dijalankan. Berbeda-beda pulau tapi masih satu keluarga utuh. Keluarga hebat!

Jogja, 13 November 2014


Aku Ingin Bapak, Bukan Suara Bapak!

Oleh: Sabrina Argentum

Saat itu, aku masih mengenakan seragam putih merah dan bapak yang telah menyelesaikan tugas belajar kembali ke rumah. Betapa bahagianya aku, karena kini telah kembali berkumpul. Sejak aku mulai bisa mengenal bapak dan ibu, rumah ini sering sepi. Bapak yang ditugaskan di luar kota lalu dilanjutkan dengan tugas belajar di Jakarta. Ibu yang seorang guru di Suruh, Kabupaten Semarang, harus pergi sangat pagi agar tidak terlambat sampai di sekolah. Sehari-hari aku hanya ditemani oleh kakek dari ibu, Mbak Galuh dan seorang rewang.

Bapak adalah lelaki yang tampan, menurutku. Beliau adalah lelaki tertampan di dunia, tak ada yang mampu menandinginya. Bahkan artis-artis Hollywood maupun Bolliwood pun tak bisa menandingi ketampanan beliau. Bila ada beliau di rumah, rasanya aman sekali. Tak ada lelaki dengan angkot biru yang datang membawa beragam makanan untukku. Aku tak suka lelaki kurus dengan angkotnya itu. Karena dia telah membuat seorang wanita datang ke rumah dan mengamuk, hingga pecah mainan kesayanganku.

Tapi kebahagiaanku tak berlangsung lama. Tepat saat aku naik ke kelas empat dan dinyatakan diterima di sebuah sekolah unggulan di Salatiga, bapak harus pergi ke Kalimantan Timur. Jangan tanya perasaanku, pastilah sangat kesal! Bagaimana tidak kesal, bila baru ditemani barang dua-tiga bulan sudah ditinggal lagi. Apalagi perginya tidak bisa menggunakan bis seperti dulu, tapi harus pakai kapal. Dengan bis saja bapak hanya akan pulang seminggu sekali atau sebulan dua kali saja. Aku tak bisa membayangkan bila sudah pergi ke pulau seberang yang konon kabarnya berhutan lebat. Apa bagusnya pergi ke sana? Mau jadi orang hutan? Huh!

Hari demi hari berganti, sudah saatnya bapak pergi. Aku kesal, tapi entah kesal karena apa. Yang pasti aku berlari dan mengunci pintu kamar rapat-rapat saat travel siap membawa bapak pergi jauh. Entah apa yang ada di hati bapak saat itu, yang pasti beliau terus membujuk agar aku keluar. Ibu pun ikut membujuk tapi aku tetap tak mau dan menangis sejadi-jadinya.

Mungkin lelah membujukku, atau memang travel yang sudah tak bisa menunggu lama, akhirnya bapak pamit pergi dari balik pintu. Sebelum pergi, bapak berjanji untuk sering menelepon ke rumah. Kuabaikan saja ucapannya dan terus menangis. Sungguh, aku tak ingin kehilangan bapak lagi. Apalagi bapak mau pergi ke hutan.
***

Sebulan telah berlalu. Bapak belum juga pulang. Tapi beliau menepati janjinya untuk sering menelepon ke rumah. Aku tak tahu apakah beliau menelepon lewat telepon umum atau menggunakan telepon kantor. Saat itu sungguh aku tak peduli. Yang aku pedulikan adalah sekolahku yang semakin padat dan aku harus mengejar materi yang begitu banyak. SD Salatiga 2 kelas unggulan memang mengharuskan siswanya untuk masuk jam 7 tepat dan baru pulang jam 3 sore. Kelelahan ini sudah mampu sedikit mengusir rasa sepi dan kesal karena bapak pindah ke pulau yang penuh dengan hutan. Apa bagusnya Balikpapan sampai beliau tak pulang-pulang?

Sore itu, tepat saat aku baru menginjakkan kaki di rumah setelah seharian sekolah ditambah les bahasa inggris, telepon berdering. Ibu yang sudah duduk di samping meja telepon segera mengangkatnya. Tahulah aku, pasti dari bapak. Rasa sebal kembali hadir, aku segera berlari masuk ke kamar dan menguncinya rapat-rapat.

“Dek, ini bapak mau ngomong. Keluar, ya, Dek …. Kan Adek belum pernah ngobrol sama Bapak.”

“Emoh! Adek gak mau ngomong sama Bapak!” teriakku keras, berusaha mengusir Mbak Galuh.

“Tapi Bapak kangen sama Dek Fitri lho. Emang Adek nggak kangen Bapak?”

“Adek nggak kangen Bapak! Bapak jahat!”

Aku benci hanya suaranya yang hadir. Aku ingin ayahku kembali, bukan hanya suaranya.
***

4 Tahun kemudian di Balikpapan

“Ini anak saya yang bungsu, Pak.” Aku tersenyum canggung dan menyalami seorang lelaki yang sebaya dengan bapak, Pak Karno namanya. “Oo, ini yang pas Pak Rus awal ke Balikpapan trus nggak mau nerima telepon ya?”

Bapak hanya tersenyum mendengar ucapan Pak Karno. Sementara di dalam hatiku terasa sangat tidak nyaman. Betapa terkenalnya aku di kalangan rekan-rekan bapak di sini. Masalahnya terkenal bahwa aku tak mau menerima telepon dari beliau, bukan terkenal sebagai anak baik.

Sungguh saat itu aku ingin berlari menjauh, tapi tak mungkin. Tak ada yang mengerti kenapa aku berlaku seperti itu selain diriku sendiri. Aku hanya ingin ada di dekat bapak, bukan di dekat suara bapak. Aku tak mau menerima telepon bukan karena aku tak sayang, tapi karena aku tak ingin menangis saat mendengar suara bapak. Karena sungguh, aku merindukan untuk berkumpul dengannya seperti saat ini. Dan ternyata, Balikpapan bukan hutan, seperti yang kusangka saat itu. Mengingat itu, aku hanya bisa tersenyum malu. Maafkan Fitri, Pak.

Jogja, 13 November 2014

I love you, Dad

Selasa, 11 November 2014

Perokok Keren?

Rokok sudah sangat terkenal di negeri tercinta. Tua, muda, laki-laki, bahkan seorang wanita pun saat ini dengan mudahnya membawa dan menghisap benda silinder berwarna putih ini. Benda yang kecil, tapi memberikan efek besar, termasuk efek perdebatan. Bagi orang yang pro-rokok akan sangat mati-matian membela, dan sebagian lagi menentang. Saya termasuk penentangnya.

Seperti yang sudah-sudah, saya punya tugas mencari jurnal-jurnal internasional dan di-review. Hari ini pun begitu. Hari ini saya mencari tentang Stress oksidatif atau kerusakan di dalam tubuh karena penumpukan radikal bebas. Sesungguhnya di dalam tubuh ada mekanisme antioksidan yang akan menghambat menginaktifkan radikal bebas menjadi netral dan tidak merusak tubuh. Namun pada saat radikal bebas dalam tubuh lebih banyak daripada antioksidan, maka akan terjadi stress oksidatif yang berdampak pada kerusakan sel-sel tubuh, perubahan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. Bisa dibayangkan bila sel-sel tubuh mengalami kerusakan, maka bersiaplah untuk menghadapi berbagai penyakit yang akan timbul.

Hari ini secara tidak sengaja saya menemukan sebuah jurnal tentang perubahan profil protein pada tikus jantan yang diberi paparan asap rokok. Tikus ini diberikan paparan rokok selama satu jam setiap harinya selama dua pekan. Hasil dari penelitian ini menyebutkan terjadinya stress oksidatif pada tikus yang terpapar asap rokok. Tikus mengalami kerusakan epididimis, dimana epididimis adalah tempat untuk mematangkan sel-sel sperma sehingga bisa membuahi sel telur. Dengan rusaknya epididimis, maka sel sperma yang dihasilkan tidak akan matang dan mengalami penurunan kualitas. Kalau kualitas sperma turun, maka sulit untuk menghasilkan anak.

Jadi, masihkah kalian berpikir bahwa para perokok itu keren?

Sumber: The alteration of protein profile induced by cigarette smoking via oxidative stress in mice epididymis (The International Journal of Biochemistry & Cell Biology 45 (2013) 571–582)