Minggu, 02 November 2014

Master Gila


Pendar-pendar jingga menerobos masuk ke dalam kamar yang gelap gulita. Jangan sengaja masuk ke sana bila tak ingin tersandung buku, baju, bahkan gelas, piring dan botol arak. Bau yang luar biasa menusuk hidung akan mudah kau temui. Tak ada seorangpun mampu hidup di tempat yang mirip bangkai kapal yang telah karam di dasar lautan selain Nando. Lelaki berkulit putih dengan mata elang yang terluka, badan membungkuk dan wajah yang lebih tua 10 tahun dari aslinya. Seorang bergelar master yang memutuskan untuk mengunci diri di tepian hati bersama kesunyian.
Tak banyak yang mengenal lelaki ini, selain dia adalah orang aneh, pengangguran, pemalas dan pemarah. Bahkan tetangganya menganggap dia sudah lama mati. Memang raganya masih ada, tapi jiwa dan akalnya sudah mati. Rumah tak terurus dan nyaris ambruk terkesan angker dan berhantu. Siapapun tak ada yang ingin lewat di depan rumah seram itu. Bila mampu, lebih baik mengambil jalan memutar. Tak apa lebih jauh dan lebih lelah, selama tak lewat rumah Nando.
Matahari sudah meninggi. Suara anak-anak dengan ceria menyenandungkan lagu-lagu pengantar sekolah dan aroma berbagai masakan dari ibu-ibu tetangga menyusup lembut melalui jendela kayu rapuh. Tapi Nando masih setia berada di atas pembaringan meski mata elang yang terluka telah terbuka sepenuhnya. Matanya nyalang, seperti melihat sesuatu di dalam kegelapan.
“Argh! Aku benci pagi! Aku benci hidup! Kenapa harus ada pagi yang merenggut kekasihku pergi dari sisiku?”
Teriakan kehilangan terdengar memekakkan, disertai dengan suara bantingan barang. Entah apa lagi yang bisa dibantingnya. Rasa-rasanya semua barang sudah pecah. Bayangkan saja, lima tahun dia terus seperti itu. Bangun pagi, berteriak dan membanting barang.
 Ya, lima tahun istrinya pergi karena tak tahan hidup dengan Nando yang hanya menghisap cerutu di rumah tanpa beranjak seditik pun untuk mencari pekerjaan. Dia enggan berjualan karena gengsi. Masa bergelar master harus berteriak keliling kampung menjajakan sayur atau sekedar duduk menjaga toko. Baginya gelar master itu hanya cocok untuk pekerjaan kantoran dengan dasi dan kemeja yang disetrika halus. Tapi dia pun tak ingin berkeliling kota menawarkan dirinya untuk bekerja. Maunya semua pekerjaan datang sendiri mencarinya.
Bayangkan, istri mana yang betah dengan suami yang semacam itu? Suami yang cerdas tapi pengangguran. Mungkin akan lebih baik suami yang tak terlalu cerdas tapi mau bekerja keras dan tidak mudah gengsi. Maka, pagi itu Nando tak menemukan istrinya di seluruh rumah. Hanya secarik kertas  bertinta biru tergeletak di atas meja tanda pamit sang istri. Dan sejak itu, Nando mulai gila.
***

Pagi itu terasa berbeda. Warga geger saat membaca koran pagi sebagai kawan minum kopi. Seorang master lulusan universitas ternama meminta pelegalan suntik mati. Siapapun yang membaca akan menganggap Sang Master pasti gila. Hanya orang gila yang mau minta dibunuh untuk mengakhiri hidup indahnya di dunia. Siapa yang rela hidup indah, tenang bersama wanita cantik nan lembut yang menyiapkan sarapan dan kopi di pagi hari, dan anak-anak mungil lucu yang bersiap berangkat ke sekolah dengan tas yang besarnya tak sebanding dengan tubuhnya. Apalagi yang meminta adalah seorang bergelar master dari universitas ternama yang ribuan orang berharap bisa menjadi bagian darinya. Orang itu gila!
Hey kawan, orang gila yang kau sebut-sebut itu tak lain dan tak bukan adalah Nando. Dia memang sudah lama gila, hilang kewarasannya sejak bertahun-tahun lalu. Hilang kewarasannya sejak kesombongan dan rasa gengsi menguasai jiwanya. Lebih-lebih setelah sang istri pergi karena tak tahan hidup tanpa asap di dapur.
Rumah seram yang pada hari-hari biasa sangat sepi, kali ini penuh dengan para wartawan dengan mike dan kamera di tangan. Mereka penasaran ingin meliput Sang Master Gila –begitu mereka menyebutnya.
Tak seperti biasanya, Nando sudah rapi dengan kemeja biru bergaris yang entah kapan terakhir dijamah dan celana pendek putih menutupi tubuh kurusnya. Dia berdandan rapi untuk menemui wartawan yang penuh rasa ingin tahu akan keputusan gila untuk bunuh diri secara legal. Siapapun tahu, bunuh diri tidak ada yang legal, bahkan ancaman neraka sudah menganga. Tapi bagi Nando, tak ada yang tak mungkin. Bila hukum manusia bisa dibeli, maka hukum Tuhan juga bisa diganti.
“Aku tak ingin hidup lebih lama karena toh aku sekarang sudah mati dalam kehidupan. Pemerintah tak memberiku makan meski aku bergelar master. Istriku pergi dengan lelaki lain. Di manakah keadilan hidup yang sebenarnya? Daripada aku mati dalam kehidupan, lebih baik aku dibunuh oleh pemerintah yang tak mampu menghidupi rakyatnya dengan baik,” begitu kelakarnya di hadapan kamera. Duhai, siapa yang mendengar dan tak ingin mengusap dada bila ada lelaki semacam itu?
***

Sebulan, dua bulan telah berlalu. Berita Nando ingin dibunuh pemerintah sudah lenyap ditelan bumi. Semua orang tak peduli lagi padanya. Kecuali seorang lelaki tua berpeci putih, marbot masjid di dekat rumah Nando.
Dengan sabar, dia selalu menghampiri Nando meski hardikan selalu terdengar. Sepiring nasi dengan lauk tempe atau tahu dan segelas teh hangat selalu dengan rutin dibawakan Sang Marbot. Karena jengah, akhirnya Nando mulai lunak padanya.
Hari demi hari terus berlalu. Sang marbot tua terus mendampingi Nando. Menceritakan hidupnya yang seorang diri karena istri dan anak yang terlebih dulu berpulang. Menceritakan bagaimana dia tetap bertahan karena yakin bahwa Tuhan Maha Adil dan tak akan menyia-nyiakan siapapun yang tetap mau berusaha. Dan Tuhan tidak melihat gelar yang disandang setiap makhluknya, hanya usaha dan kerja keras serta keimanan yang akan dinilai.

Tanpa disadari, hati Nando tersentuh. Air matanya menetes mengingat lima tahun atau lebih yang dia sia-siakan. Mata elangnya kini berembun, menatap isi rumah yang kini telah rapi dengan sentuhan Marbot tua dengan hati emas. Rasa malu menguasai jiwanya. Betapa Nando merasa menjadi pecundang yang terkalahkan dengan seorang tua namun masih berharap akan hidup yang lebih baik.
***

Sabrina Argentum
Jogja, 2 November 2014