Pendar-pendar
jingga menerobos masuk ke dalam kamar yang gelap gulita. Jangan sengaja masuk
ke sana bila tak ingin tersandung buku, baju, bahkan gelas, piring dan botol
arak. Bau yang luar biasa menusuk hidung akan mudah kau temui. Tak ada
seorangpun mampu hidup di tempat yang mirip bangkai kapal yang telah karam di
dasar lautan selain Nando. Lelaki berkulit putih dengan mata elang yang
terluka, badan membungkuk dan wajah yang lebih tua 10 tahun dari aslinya. Seorang
bergelar master yang memutuskan untuk mengunci diri di tepian hati bersama
kesunyian.
Tak banyak
yang mengenal lelaki ini, selain dia adalah orang aneh, pengangguran, pemalas
dan pemarah. Bahkan tetangganya menganggap dia sudah lama mati. Memang raganya
masih ada, tapi jiwa dan akalnya sudah mati. Rumah tak terurus dan nyaris
ambruk terkesan angker dan berhantu. Siapapun tak ada yang ingin lewat di depan
rumah seram itu. Bila mampu, lebih baik mengambil jalan memutar. Tak apa lebih
jauh dan lebih lelah, selama tak lewat rumah Nando.
Matahari sudah
meninggi. Suara anak-anak dengan ceria menyenandungkan lagu-lagu pengantar
sekolah dan aroma berbagai masakan dari ibu-ibu tetangga menyusup lembut
melalui jendela kayu rapuh. Tapi Nando masih setia berada di atas pembaringan
meski mata elang yang terluka telah terbuka sepenuhnya. Matanya nyalang,
seperti melihat sesuatu di dalam kegelapan.
“Argh! Aku benci
pagi! Aku benci hidup! Kenapa harus ada pagi yang merenggut kekasihku pergi
dari sisiku?”
Teriakan kehilangan
terdengar memekakkan, disertai dengan suara bantingan barang. Entah apa lagi
yang bisa dibantingnya. Rasa-rasanya semua barang sudah pecah. Bayangkan saja,
lima tahun dia terus seperti itu. Bangun pagi, berteriak dan membanting barang.
Ya, lima tahun istrinya pergi karena tak tahan
hidup dengan Nando yang hanya menghisap cerutu di rumah tanpa beranjak seditik
pun untuk mencari pekerjaan. Dia enggan berjualan karena gengsi. Masa bergelar
master harus berteriak keliling kampung menjajakan sayur atau sekedar duduk
menjaga toko. Baginya gelar master itu hanya cocok untuk pekerjaan kantoran
dengan dasi dan kemeja yang disetrika halus. Tapi dia pun tak ingin berkeliling
kota menawarkan dirinya untuk bekerja. Maunya semua pekerjaan datang sendiri
mencarinya.
Bayangkan,
istri mana yang betah dengan suami yang semacam itu? Suami yang cerdas tapi
pengangguran. Mungkin akan lebih baik suami yang tak terlalu cerdas tapi mau
bekerja keras dan tidak mudah gengsi. Maka, pagi itu Nando tak menemukan
istrinya di seluruh rumah. Hanya secarik kertas
bertinta biru tergeletak di atas meja tanda pamit sang istri. Dan sejak
itu, Nando mulai gila.
***
Pagi itu
terasa berbeda. Warga geger saat membaca koran pagi sebagai kawan minum kopi. Seorang
master lulusan universitas ternama meminta pelegalan suntik mati. Siapapun yang
membaca akan menganggap Sang Master pasti gila. Hanya orang gila yang mau minta
dibunuh untuk mengakhiri hidup indahnya di dunia. Siapa yang rela hidup indah,
tenang bersama wanita cantik nan lembut yang menyiapkan sarapan dan kopi di
pagi hari, dan anak-anak mungil lucu yang bersiap berangkat ke sekolah dengan
tas yang besarnya tak sebanding dengan tubuhnya. Apalagi yang meminta adalah
seorang bergelar master dari universitas ternama yang ribuan orang berharap
bisa menjadi bagian darinya. Orang itu gila!
Hey kawan,
orang gila yang kau sebut-sebut itu tak lain dan tak bukan adalah Nando. Dia memang
sudah lama gila, hilang kewarasannya sejak bertahun-tahun lalu. Hilang kewarasannya
sejak kesombongan dan rasa gengsi menguasai jiwanya. Lebih-lebih setelah sang
istri pergi karena tak tahan hidup tanpa asap di dapur.
Rumah seram
yang pada hari-hari biasa sangat sepi, kali ini penuh dengan para wartawan
dengan mike dan kamera di tangan. Mereka
penasaran ingin meliput Sang Master Gila –begitu mereka menyebutnya.
Tak seperti
biasanya, Nando sudah rapi dengan kemeja biru bergaris yang entah kapan
terakhir dijamah dan celana pendek putih menutupi tubuh kurusnya. Dia berdandan
rapi untuk menemui wartawan yang penuh rasa ingin tahu akan keputusan gila
untuk bunuh diri secara legal. Siapapun tahu, bunuh diri tidak ada yang legal,
bahkan ancaman neraka sudah menganga. Tapi bagi Nando, tak ada yang tak
mungkin. Bila hukum manusia bisa dibeli, maka hukum Tuhan juga bisa diganti.
“Aku tak ingin
hidup lebih lama karena toh aku sekarang sudah mati dalam kehidupan. Pemerintah
tak memberiku makan meski aku bergelar master. Istriku pergi dengan lelaki
lain. Di manakah keadilan hidup yang sebenarnya? Daripada aku mati dalam
kehidupan, lebih baik aku dibunuh oleh pemerintah yang tak mampu menghidupi
rakyatnya dengan baik,” begitu kelakarnya di hadapan kamera. Duhai, siapa yang
mendengar dan tak ingin mengusap dada bila ada lelaki semacam itu?
***
Sebulan, dua
bulan telah berlalu. Berita Nando ingin dibunuh pemerintah sudah lenyap ditelan
bumi. Semua orang tak peduli lagi padanya. Kecuali seorang lelaki tua berpeci
putih, marbot masjid di dekat rumah Nando.
Dengan sabar,
dia selalu menghampiri Nando meski hardikan selalu terdengar. Sepiring nasi
dengan lauk tempe atau tahu dan segelas teh hangat selalu dengan rutin
dibawakan Sang Marbot. Karena jengah, akhirnya Nando mulai lunak padanya.
Hari demi hari
terus berlalu. Sang marbot tua terus mendampingi Nando. Menceritakan hidupnya
yang seorang diri karena istri dan anak yang terlebih dulu berpulang. Menceritakan
bagaimana dia tetap bertahan karena yakin bahwa Tuhan Maha Adil dan tak akan
menyia-nyiakan siapapun yang tetap mau berusaha. Dan Tuhan tidak melihat gelar
yang disandang setiap makhluknya, hanya usaha dan kerja keras serta keimanan
yang akan dinilai.
Tanpa disadari,
hati Nando tersentuh. Air matanya menetes mengingat lima tahun atau lebih yang
dia sia-siakan. Mata elangnya kini berembun, menatap isi rumah yang kini telah
rapi dengan sentuhan Marbot tua dengan hati emas. Rasa malu menguasai jiwanya. Betapa
Nando merasa menjadi pecundang yang terkalahkan dengan seorang tua namun masih
berharap akan hidup yang lebih baik.
***
Sabrina Argentum
Jogja,
2 November 2014