Kamis, 13 November 2014

Aku Ingin Bapak, Bukan Suara Bapak!

Oleh: Sabrina Argentum

Saat itu, aku masih mengenakan seragam putih merah dan bapak yang telah menyelesaikan tugas belajar kembali ke rumah. Betapa bahagianya aku, karena kini telah kembali berkumpul. Sejak aku mulai bisa mengenal bapak dan ibu, rumah ini sering sepi. Bapak yang ditugaskan di luar kota lalu dilanjutkan dengan tugas belajar di Jakarta. Ibu yang seorang guru di Suruh, Kabupaten Semarang, harus pergi sangat pagi agar tidak terlambat sampai di sekolah. Sehari-hari aku hanya ditemani oleh kakek dari ibu, Mbak Galuh dan seorang rewang.

Bapak adalah lelaki yang tampan, menurutku. Beliau adalah lelaki tertampan di dunia, tak ada yang mampu menandinginya. Bahkan artis-artis Hollywood maupun Bolliwood pun tak bisa menandingi ketampanan beliau. Bila ada beliau di rumah, rasanya aman sekali. Tak ada lelaki dengan angkot biru yang datang membawa beragam makanan untukku. Aku tak suka lelaki kurus dengan angkotnya itu. Karena dia telah membuat seorang wanita datang ke rumah dan mengamuk, hingga pecah mainan kesayanganku.

Tapi kebahagiaanku tak berlangsung lama. Tepat saat aku naik ke kelas empat dan dinyatakan diterima di sebuah sekolah unggulan di Salatiga, bapak harus pergi ke Kalimantan Timur. Jangan tanya perasaanku, pastilah sangat kesal! Bagaimana tidak kesal, bila baru ditemani barang dua-tiga bulan sudah ditinggal lagi. Apalagi perginya tidak bisa menggunakan bis seperti dulu, tapi harus pakai kapal. Dengan bis saja bapak hanya akan pulang seminggu sekali atau sebulan dua kali saja. Aku tak bisa membayangkan bila sudah pergi ke pulau seberang yang konon kabarnya berhutan lebat. Apa bagusnya pergi ke sana? Mau jadi orang hutan? Huh!

Hari demi hari berganti, sudah saatnya bapak pergi. Aku kesal, tapi entah kesal karena apa. Yang pasti aku berlari dan mengunci pintu kamar rapat-rapat saat travel siap membawa bapak pergi jauh. Entah apa yang ada di hati bapak saat itu, yang pasti beliau terus membujuk agar aku keluar. Ibu pun ikut membujuk tapi aku tetap tak mau dan menangis sejadi-jadinya.

Mungkin lelah membujukku, atau memang travel yang sudah tak bisa menunggu lama, akhirnya bapak pamit pergi dari balik pintu. Sebelum pergi, bapak berjanji untuk sering menelepon ke rumah. Kuabaikan saja ucapannya dan terus menangis. Sungguh, aku tak ingin kehilangan bapak lagi. Apalagi bapak mau pergi ke hutan.
***

Sebulan telah berlalu. Bapak belum juga pulang. Tapi beliau menepati janjinya untuk sering menelepon ke rumah. Aku tak tahu apakah beliau menelepon lewat telepon umum atau menggunakan telepon kantor. Saat itu sungguh aku tak peduli. Yang aku pedulikan adalah sekolahku yang semakin padat dan aku harus mengejar materi yang begitu banyak. SD Salatiga 2 kelas unggulan memang mengharuskan siswanya untuk masuk jam 7 tepat dan baru pulang jam 3 sore. Kelelahan ini sudah mampu sedikit mengusir rasa sepi dan kesal karena bapak pindah ke pulau yang penuh dengan hutan. Apa bagusnya Balikpapan sampai beliau tak pulang-pulang?

Sore itu, tepat saat aku baru menginjakkan kaki di rumah setelah seharian sekolah ditambah les bahasa inggris, telepon berdering. Ibu yang sudah duduk di samping meja telepon segera mengangkatnya. Tahulah aku, pasti dari bapak. Rasa sebal kembali hadir, aku segera berlari masuk ke kamar dan menguncinya rapat-rapat.

“Dek, ini bapak mau ngomong. Keluar, ya, Dek …. Kan Adek belum pernah ngobrol sama Bapak.”

“Emoh! Adek gak mau ngomong sama Bapak!” teriakku keras, berusaha mengusir Mbak Galuh.

“Tapi Bapak kangen sama Dek Fitri lho. Emang Adek nggak kangen Bapak?”

“Adek nggak kangen Bapak! Bapak jahat!”

Aku benci hanya suaranya yang hadir. Aku ingin ayahku kembali, bukan hanya suaranya.
***

4 Tahun kemudian di Balikpapan

“Ini anak saya yang bungsu, Pak.” Aku tersenyum canggung dan menyalami seorang lelaki yang sebaya dengan bapak, Pak Karno namanya. “Oo, ini yang pas Pak Rus awal ke Balikpapan trus nggak mau nerima telepon ya?”

Bapak hanya tersenyum mendengar ucapan Pak Karno. Sementara di dalam hatiku terasa sangat tidak nyaman. Betapa terkenalnya aku di kalangan rekan-rekan bapak di sini. Masalahnya terkenal bahwa aku tak mau menerima telepon dari beliau, bukan terkenal sebagai anak baik.

Sungguh saat itu aku ingin berlari menjauh, tapi tak mungkin. Tak ada yang mengerti kenapa aku berlaku seperti itu selain diriku sendiri. Aku hanya ingin ada di dekat bapak, bukan di dekat suara bapak. Aku tak mau menerima telepon bukan karena aku tak sayang, tapi karena aku tak ingin menangis saat mendengar suara bapak. Karena sungguh, aku merindukan untuk berkumpul dengannya seperti saat ini. Dan ternyata, Balikpapan bukan hutan, seperti yang kusangka saat itu. Mengingat itu, aku hanya bisa tersenyum malu. Maafkan Fitri, Pak.

Jogja, 13 November 2014

I love you, Dad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar