Oleh: Sabrina Argentum
Keluargaku memang terkenal sebagai keluarga nomaden. Entah berapa
kali bapak pindah kerja. Bukan pindah pekerjaan lho, tapi penempatannya yang
berpindah-pindah. Kepindahan bapak juga menjadi alasan kami sering mengalami
LDR alias Long Distance Relationship.
Sejak Mbak Galuh masih bayi, sampai saat ini. Sebuah resiko yang harus ditempuh
demi menghidupi keluarga. Angkat topi untuk bapak ibu yang sampai saat ini
masih bersama meskipun terlalu sering berpisah.
Mungkin akan terdengar biasa bila dalam sebuah keluarga
hanya ada satu atau dua anggota keluarga yang terpisah pulau. Pernah suatu
saat, keluarga kami terpencar di empat pulau yang berbeda. Jangan bayangkan
keluarga kami berupa keluarga besar, karena orang tuaku menganut anjuran
pemerintah untuk ber-KB (Keluarga Berencana). Bisakah terbayang dalam satu
keluarga dengan empat orang anggotanya terpisah di empat pulau yang berbeda?
Saat itu aku kelas XII masih di awal semester. Bapak akan
dipindah lagi ke Pulau Buton, salah satu pulau yang berada di kaki huruf K
Sulawesi, tepatnya di Provinsi Sulawesi Tenggara. Saat yang bersamaan, mbakku
sudah di Jogja untuk melanjutkan studinya di sebuah universitas tertua di
Indonesia. Ibu yang awalnya memberatkanku yang tetap tak mau ikut pindah dari
Balikpapan, mulai terlihat gamang. Pastilah berat untuk melepas bapak sendiri
di tengah pulau antah berantah di tengah terpaan kabar perselingkuhan beberapa
rekan kerja bapak. Jalan tengah pun diambil, ibu ikut bapak sementara aku tetap
di Balikpapan bersama kakak sepupu dan keluarganya. Sampai sini, keluargaku
terpisah di tiga pulau.
***
Sudah lima bulan orang tuaku pindah ke Pulau Buton. Rumah dan
seisinya, termasuk biaya listrik dan belanja bulanan aku yang mengatur. Tak apa,
hitung-hitung jadi ibu rumah tangga sejak dini. Kapan lagi bisa belajar gratis
seperti ini? Hehehe.
Setiap sebulan sekali ibuku pulang ke Balikpapan. Terkadang bersama
bapak, tapi lebih sering sendiri. Saat ini ibu pulang, sendiri karena bapak ada
urusan pekerjaan di Makassar. Berbagai oleh-oleh khas Buton dibawakan untukku. Bahkan
beberapa ekor lobster besar yang konon katanya di Buton murah harganya. Bahagia?
Pasti dong. Bisa kumpul lagi itu menyenangkan, meski kadang menyulut emosi dari
kami sendiri. Hihihi. Karena lapar dan ngiler lihat lobster besar-besar yang
harganya selangit, segera kukunyah beberapa potongan yang mampu aku ambil.
“Bu, kalau bapak ke Makassar gitu, Ibu selalu ikut?” tanyaku
disela mengunyah lobster.
“Ya enggak. Kalau pas libur sih Ibu bisa ikut. Tapi kalau
nggak ya, di Buton aja.”
Uhuk! Tiba-tiba aku tersedak dengan pengakuan ibu. Jadi
kalau bapak sedang di Makassar yang berada di Pulau Sulawesi, ibu di Pulau
Buton, Mbak Galuh di Jogja, dan aku di Balikpapan, kami semua berbeda pulau? Ternyata
hebat juga keluargaku. Prinsip Bhineka
Tunggal Ika yang benar-benar dijalankan. Berbeda-beda pulau tapi masih satu
keluarga utuh. Keluarga hebat!
Jogja, 13 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar